Bahasa Betawi

Periode setelah masehi

Pada abad ke-2, Menurut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat Kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan China telah maju. Bahkan, pada tahun 432 M Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Tiongkok.

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi sungai Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan Kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibu kota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi sungai Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibu kota kerajaan di tepi sungai Candrabhaga, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasih, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termasyhur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan mereka punya kagumbiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.

Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatra. Mereka mendirikan permukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya babe, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadramaut, Yaman. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut umi atau enya' dari kata nyonya. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.

Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan orang Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Tiongkok ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kerajaan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kuno sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.

Kesultanan Demak berhasil merebut Sunda Kalapa dari koalisi Pajarjaran dan Portugis. Derah tersebut diubah namanya menjadi Jayakarta (Jakarta). Kemudian dimulailah islamisasi masyarakat sehingga saat itu masyarakat Jakarta berbudaya dan berbahasa jawa sama seperti wilayah pesisir lainnya yaitu Serang, Indramayu dan Cirebon. Itulah sebabnya hingga kini masih tersisa kosakata dan budaya jawa pada suku betawi.

Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC memaksa penduduk menggunakan bahasa melayu pasar. Selain itu VOC juga banyak mendatangkan bawahan dari luar pulau. Sejak saat itulah bahasa betawi menjadi kreol melayu.

VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.[17] Itulah penyebab masih tersisanya kosakata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jalan Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690.

Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, sejarahwan Australia, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad ke-19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.

Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari:

Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.

Mengikuti kajian Castles, antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (bahasa Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.

Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal mereka, seperti orang Kwitang; orang Kemayoran; orang Tanah Abang dan seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir.

Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke-11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo. Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa di mana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Suku Betawi, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Bugis, dan lainnya. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, Belanda, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa Betawi dituturkan dalam dan sekitar Jakarta modern (bew). Secara tradisional, Bahasa Betawi Tengahan atau Bahasa Betawi dialek Jakarta terdaftar sebagai Bahasa Melayu lebih tepatnya Bahasa Melayu Kreol dikarenakan banyak kosakata serapan, kemiripan, beberapa kesamaan atau pengaruh kuat dari Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu dengan bentuk baku yang cenderung diakhiri dengan vokal 'é' tinggi/e talling. Bahasa Betawi dialek Tengahan tidak begitu beragam kosakatanya dibandingkan dengan Bahasa Betawi dialek Pinggiran yang lebih terasa keberagaman kosakatanya karena banyak serapan dari Bahasa Sunda & sebagian Bahasa Jawa serta beberapa kosakata serapan dari Bahasa lainnya. Para pakar/peneliti menyebutkan bahwa Bahasa Betawi ialah sebuah dialek dari bahasa Melayu yang biasa disebut Bahasa Melayu dialek Jakarta/Melayu Batavia, namun hal ini tak sepenuhnya benar karena Bahasa Betawi yang memiliki kedekatan/kekerabatan dengan Bahasa Melayu ialah hanya dialek Tengahan/Jakarta sedangkan untuk dialek Pinggiran lebih dekat dan berkerabat dengan Bahasa Sunda & Jawa. Bahasa Betawi dapat dikatakan sebuah rumpun dari Bahasa Melayu ataupun disebut sebagai Bahasa dagang/Melayu Kreol. Secara historis, Bahasa Betawi tercipta karena adanya percampuran antar Bahasa yang ada di Batavia pada masa lalu sehingga terbentuklah Bahasa Betawi yang beragam kosakata dan dialeknya.

Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi dialek Tengahan, Bahasa Melayu Dialek Jakarta, atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.[18]

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto-Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatra. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya-Kediri yang dimediasi oleh Tiongkok yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda di wilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[19] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah sering kali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin Sueb, Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir". Pengaruh budaya Jawa dengan sedikit unsur Sunda didalamnya juga ada dalam kebudayaan Betawi, seperti: pementasan wayang

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi,[20] Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda,[21] Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Drama tradisional Betawi antara lain lenong dan tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.[22]

Tari Ronggeng Blantek

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau Si Jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".[23] Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.

Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya. Terdapat pula rumah tradisional lain seperti rumah panggung Betawi.

Suku Betawi di Jakarta mengenal tradisi "Bikin Rume" yang dilakukan ketika hendak membangun rumah.

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam. Angropolog Fachry Ali dari IAIN Pekalongan menyatakan Islam sebagai salah satu sumber identitas dan budaya Betawi, sehingga tidak bisa dipisahkan.[24] Forum Betawi Rempug (FBR) menyatakan salah satu etos organisasi mereka tiga S: Sholat, Silat dan Sekolah.[25] Akademisi luar negeri seperti Susan Abeyasekere dari Monash University juga menyetujui, orang Betawi sering menunjukan identitas islamnya dalam karya tulisan mereka.[26]

Walau begitu ada pula komunitas kecil Betawi yang menganut Kekristenan yakni Katolik dan Protestan. Salah satu komunitas ini adalah dari Kampung Tugu, Jakarta Utara. Mereka menyatakan mereka keturunan campuran antara penduduk lokal dengan Mardijkers, bangsa Portugis ataupun Belanda.[27]

Selain itu ada pula komunitas Kampung Sawah. Meester Anthing menjadi orang Protestan pertama yang mencampurkan ritus-ritus budaya dengan kekristenan yang menitikberatkan pada ngelmu dan hal-hal mistik lainnya dan mendirikan jemaat disana. Namun lambat laun komunitas ini terpecah menjadi tiga pada tahun 1895. Fraksi pertama dibawah guru Laban dan berpusat di Kampung Sawah Barat, fraksi kedua kelompok Yoseh yang berpusan di Kampung Sawah Timur, dan fraksi ketiga yang dipimpin Guru Nathanael yang kemudian memeluk Katolik cikal bakal Paroki Santo Servatius Kampung Sawah.[28][29]

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012.

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam) kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dengan pendatang dari luar Jakarta.

Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri. Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi terhadap generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

Sebelum era Orde Baru, profesi orang Betawi terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kamboja Jepang, dan lain-lain) dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Si Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustaz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang dikenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Masakan khas Betawi antara lain gabus pucung, laksa betawi. sayur babanci, sayur godog, soto Betawi, ayam sampyok, kerak telor, asinan Betawi, soto tangkar dan nasi uduk.[30]

Kue-kue khas Betawi misalnya kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang goyang, kerak telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue dongkal, kue geplak, dodol betawi, dan roti buaya.[kue pancong]

Minuman khas Betawi contohnya adalah es selendang mayang, es goyang, dan bir pletok.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pakaian pengantin Betawi adalah busana pengantin beserta tata cara mengenakan baju adat yang berasal dari DKI Jakarta.[1] Pakaian adat Betawi yang dikenakan para pengantin merupakan hasil perpaduan antara budaya Tionghoa, Arab, dan Barat. Oleh karena itu, pakaian pengantin ini memiliki nama yang unik, yaitu Dandanan Care Haji bagi pakaian pengantin pria Betawi dan Dandanan Care None Pengantin Cine untuk pengantin wanita Betawi.[2]

Bagian ini memerlukan

. Anda dapat membantu dengan

Pakaian Dandanan Care Haji yang dipakai pengantin laki-laki ketika pernikahan meliputi jubah berwarna cerah dan tutup kepala yang disebut sorban atau topi alpie. Sorban tersebut berwarna emas dengan manik-manik cerah.[3] Dandanan Care Haji merupakan pakaian pengantin tradisional pria khas Betawi, Jakarta. Pakaian ini digunakan oleh calon pengantin laki-laki yang terdiri dari:[4]

Dandanan Care None Pengantin Cine terdiri atas blus cerah dari bahan satin, bawahan rok berwarna gelap (Kun), serta sebagai pelengkap, di bagian kepala mereka menggunakan kembang goyang bermotif burung hong dengan sanggul palsu dilengkapi cadar di wajah. Dandanan Care None Pengantin Cine merupakan pakaian pengantin tradisional wanita khas Betawi, Jakarta. Pakaian ini digunakan oleh calon pengantin perempuan yang terdiri dari: [5]

Belanja di App banyak untungnya:

Kebaya Betawi adalah salah satu warisan budaya yang sarat dengan nilai sejarah dan keindahan estetika.

Ethnic group in Indonesia

Betawi people, Batavi, or Batavians[3][4][5] (Orang Betawi in Indonesian, meaning "people of Batavia"), are an Austronesian ethnic group native to the city of Jakarta and its immediate outskirts, as such often described as the inhabitants of the city.[6] They are the descendants of the people who inhabited Batavia (the Dutch colonial name of Jakarta) from the 17th century onwards.[7][8]

The term Betawi people emerged in the 18th century as an amalgamation of various ethnic groups into Batavia.[9][10][11]

The Betawis are the most recently formed ethnic groups in Indonesia. They are a creole ethnic group in that their ancestors came from various parts of Indonesia and abroad. Before the 19th century, the self-identity of the Betawi people was not yet formed.[12] The name Betawi is adopted from the native rendering of the term "Batavia" city which was originally named after the Batavi, an ancient Germanic tribe.

In the 17th century, Dutch colonial authorities began to import servants and labours from all over the archipelago into Batavia. One of the earliest were Balinese slaves bought from Bali and Ambonese mercenaries. Subsequently, other ethnic groups followed suit; they were Malays, Sundanese, Javanese, Minangkabaus, Buginese, and Makassar. Foreign and mixed ethnic groups were also included; such as Indos, Mardijkers, Portuguese, Dutch, Arabs, Chinese, and Indians, who were originally brought to or attracted to Batavia to work.[12]

Originally, circa the 17th to 18th century, the dwellers of Batavia were identified according to their ethnics of origin; either Sundanese, Javanese, Malays, Ambonese, Buginese-Makassar, or Arabs and Chinese. This was shown in the Batavia census record that listed the immigrant's ethnic background of Batavian citizens. They were separated into specific ethnic-based enclaves kampungs, which is why in today's Jakarta there are some regions named after ethnic-specific names such as Kampung Melayu, Kampung Bali, Makassar, and Kampung Ambon. These ethnic groups merged and formed around the 18th to 19th centuries. It was not until the late 19th or early 20th century that the group – who would become the dwellers of Batavia, referred to themselves as "Betawi", which refers to a Creole Malay-speaking ethnic group that has a mixed culture of different influences; Malay, Javanese, Sundanese to Arabic and Chinese.[8] The term "Betawi" was first listed as an ethnic category in the 1930 census of Batavia residents.[12] The Betawi people have a culture and language distinct from the surrounding Sundanese and Javanese. The Betawis are known for their traditions in music and food.[13]

The Betawi language, also known as Betawi Malay, is a Malay-based creole language. It was the only Malay-based dialect spoken on the northern coast of Java; other northern Java coastal areas are overwhelmingly dominated by Javanese dialects, while some parts speak Madurese and Sundanese. The Betawi vocabulary has many Hokkien Chinese, Arabic, and Dutch loanwords. Today the Betawi language is a popular informal language in Indonesia and used as the base of Indonesian slang. It has become one of the most widely spoken languages in Indonesia, and also one of the most active local dialects in the country.[14]

Due to their historical sentiment as a marginalized ethnic group in their native land, the Betawi people form several communal organizations to protect themselves from other ethnic groups and strengthen the Betawi solidarity. Notable organizations include the Forum Betawi Rempug (FBR), Forum Komunikasi Anak Betawi (Communication Forum for Betawi People, Forkabi), and Ikatan Keluarga Betawi (Betawi Family Network, IKB). These organizations act as grassroots movements to increase the bargaining power of the Betawi people whose significant part of them are economically relegated to the informal sector.[15] Some of them hold a significantly large number of followers; for example, as of 2021, Forkabi has a membership of 500,000 people across the Jabodetabek region.[16]

Religion of Betawinese[17]

A substantial majority of the Betawi people follow Sunni Islam. Anthropologist Fachry Ali of IAIN Pekalongan considers that Islam is one of the main sources for the formation of the Betawi culture and identity, and as such these two cannot be separated.[18] The element of Islam can be seen in many parts of Betawi society. For example, the Forum Betawi Rempug (FBR), a Betawi organization, considers the ethos of their organization to be the three S's: Sholat (prayer), Silat (martial arts), and Sekolah (pesantren-based education).[15] Betawi people often strongly emphasize their Islamic identity in their writings, which is observed by many foreign academics. Susan Abeyasekere of Monash University observed that many of the Betawi people are devout and orthodox Muslims.[19]

There are Betawi people who profess the Christian faith. Among the Betawi ethnic Christians, some have claimed that they are the descendants of the Portuguese Mardijker who intermarried with the local population, who mainly settled in the area of Kampung Tugu, North Jakarta. Although today Betawi culture is often perceived as Muslim culture, it also has other roots which include Christian Portuguese and Chinese Peranakan culture. Recently, there has been an ongoing debate on defining Betawi culture and identity—as mainstream Betawi organizations are criticized for only accommodating Muslim Betawi while marginalizing non-Muslim elements within Betawi culture—such as Portuguese Christian Betawi Tugu and Tangerang Buddhist Cina Benteng community.[20]

Meester Anthing became the first to bring Christianity to the Betawi community of Kampung Sawah, and founded the Protestant Church of Kampung Sawah, by combining mysticism, Betawi culture, and Christianity. However this community split into three rival factions in 1895, the first faction was led by Guru Laban based in West Kampung Sawah, the second faction was under Yoseh based in East Kampung Sawah, and the third under Guru Nathanael which was dismissed from the Protestant Church of Kampung Sawah and seek refuge in Jakarta Cathedral and adopted Catholicism.[21] The Catholic St. Servatius Church in Kampung Sawah, Bekasi, which traces its origin to the Guru Nathanael community, uses Betawi culture and language in its mass.[22] A practice that is shared by other churches in Kampung Sawah.[23]

The culture and art form of the Betawi people demonstrates the influences experienced by them throughout their history. Foreign influences are visible, such as Portuguese and Chinese influences on their music, and Sundanese, Javanese, and Chinese influences in their dances. Contrary to popular perception, which believes that Betawi culture is currently marginalized and under pressure from the more dominant neighbouring Javanese and Sundanese cultures—Betawi culture is thriving since it is being adopted by immigrants who have settled in Jakarta. The Betawi culture also has become an identity for the city, promoted through municipal government patronage. The Betawi dialect is often spoken in TV shows and dramas.[25]

Traditionally Betawi people are not urban dwellers living in gedong (European-style building) or two-storied Chinese rumah toko (shophouse) clustered in and around Batavia city walls. They are living in kampungs around the city filled with orchards. As Jakarta becomes more and more densely populated, so do Betawi traditional villages that have mostly now turned into a densely packed urban village with humble houses tucked in between high-rise buildings and main roads. Some of the more authentic Betawi villages survived only on the outskirts of the city, such as in Setu Babakan, Jagakarsa, South Jakarta bordering with Depok area, West Java. Traditional Betawi houses can be found in Betawi traditional kampung (villages) in Condet and Setu Babakan area, East and South Jakarta.[13]

In the coastal area in the Marunda area, North Jakarta, the Betawi traditional houses are built in rumah panggung style, which are houses built on stilts. The coastal stilt houses were built according to coastal wet environs which are sometimes flooded by tides or floods, it was possibly influenced by Malay and Bugis traditional houses. Malay and Bugis migrants around Batavia were historically clustered in coastal areas as they worked as traders or fishermen. Today, the cluster of Bugis fishermen villages can be found inhabiting Jakarta's Thousands Islands. An example of a well-preserved Betawi rumah panggung style is Rumah Si Pitung, located in Marunda, Cilincing, North Jakarta.[26]

Betawi houses are typically one of three styles: rumah bapang (or rumah kebaya), rumah gudang (warehouse style), and Javanese-influenced rumah joglo. Most Betawi houses have a gabled roof, except for the joglo house, which has a high-pointed roof. Betawi architecture has a specific ornamentation called gigi balang ("grasshopper teeth") which are a row of wooden shingles applied on the roof fascia. Another distinctive characteristic of the Betawi house is a langkan, a framed open front terrace where the Betawi family receives their guests. The large front terrace is used as an outdoor living space.[13]

The Gambang kromong and Tanjidor, as well as Keroncong Kemayoran music, is derived from the kroncong music of Portuguese Mardijker people of the Tugu area, North Jakarta. "Si Jali-jali" is an example of a traditional Betawi song.

The Ondel-ondel large bamboo masked-puppet giant effigy is similar to Chinese-Balinese Barong Landung and Sundanese Badawang, the art forms of masked dance.[27] The traditional Betawi dance costumes show both Chinese and European influences, while the movements such as Yapong dance,[28] which is derived from Sundanese Jaipongan dance with a hint of Chinese style. Another dance is Topeng Betawi or Betawi mask dance.[29]

Betawi's popular folk drama is called lenong, which is a form of theater that draws themes from local urban legends, and foreign stories to the everyday life of Betawi people.[30]

Mangkeng is a ceremony used at important public gatherings and especially at weddings. The main purpose is to bring good luck and ward off the rain. It is performed by the village shaman, also called the Pangkeng shaman, where the name originates.[31]

During a Betawi wedding ceremony, there is a palang pintu (lit. door's bar) tradition of silat Betawi demonstration. It is a choreographed mock fighting between the groom's entourage with the bride's jagoan kampung (local champion). The fight is naturally won by the groom's entourage as the village champs welcome him to the bride's home.[32] The traditional wedding dress of Betawi displays Chinese influences in the bride's costume and Arabian influences in the groom's costume.[8] Betawi people borrowed the Chinese culture of firecrackers during weddings, circumcisions, or any celebrative events. The tradition of bringing roti buaya (crocodile bread) during a wedding is probably a European custom.

Other Betawi celebrations and ceremonies include sunatan or khitanan (Muslim circumcision), and the Lebaran Betawi festival.[33]

Silat Betawi is a martial art of the Betawi people, which was not quite popular but recently has gained wider attention thanks to the popularity of Silat films, such as The Raid.[32] Betawi martial art was rooted in the Betawi culture of jagoan (lit. "tough guy" or "local hero") that during colonial times often went against colonial authority; despised by the Dutch as thugs and bandits, but highly respected by locals pribumis as native's champion. In the Betawi dialect, their style of pencak silat is called maen pukulan (lit. playing strike) which is related to Sundanese maen po. Notable schools among others are Beksi and Cingkrik. Beksi is one of the most commonly practised forms of silat in Greater Jakarta and is distinguishable from other Betawi silat styles by its close-distance combat style and lack of offensive leg action.[34]

Finding its roots in a thriving port city, Betawi has an eclectic cuisine that reflects foreign culinary traditions that have influenced the inhabitants of Jakarta for centuries. Betawi cuisine is heavily influenced by Peranakan, Malay, Sundanese, and Javanese cuisines, and to some extent Indian, Arabic, and European cuisines.[35] Betawi people have several popular dishes, such as soto betawi and soto kaki, nasi uduk, kerak telor, nasi ulam, asinan, ketoprak, rujak, semur jengkol, sayur asem, gabus pucung, and gado-gado Betawi.

Comfort Food yang segar, dengan perpaduan rasa asam, manis, pedas dan gurih pada kuah dan ikan bandengnya.

Masak Pindang Bandeng Betawi. Beda ya dengan Pindang Palembang atau Pindang Serani dari Jepara. Pindang Betawi ini dibikin dari Ikan Bandeng dengan menggunakan rempah serta penambahan kecap sebagai pemanis dari masakan.

Lebih sehat karena dibuat tanpa penambahan minyak sama sekali. Bisa juga dibuat dengan cara menumis bumbunya terlebih dulu tapi sebagian orang membuat dengan cara langsung merebus bumbunya. Apapun caranya, balik lagi ke selera dan empunya resep masing2, bisa dipilih mana yang dirasa enak.

#reseprr_lauk #reseprr_ikan #PejuangGoldenBatikApron

Comfort Food yang segar, dengan perpaduan rasa asam, manis, pedas dan gurih pada kuah dan ikan bandengnya.

Masak Pindang Bandeng Betawi. Beda ya dengan Pindang Palembang atau Pindang Serani dari Jepara. Pindang Betawi ini dibikin dari Ikan Bandeng dengan menggunakan rempah serta penambahan kecap sebagai pemanis dari masakan.

Lebih sehat karena dibuat tanpa penambahan minyak sama sekali. Bisa juga dibuat dengan cara menumis bumbunya terlebih dulu tapi sebagian orang membuat dengan cara langsung merebus bumbunya. Apapun caranya, balik lagi ke selera dan empunya resep masing2, bisa dipilih mana yang dirasa enak.

#reseprr_lauk #reseprr_ikan #PejuangGoldenBatikApron

Bahasa Betawi termasuk salah satu bentuk dialek bahasa Melayu. Keistimewaannya adalah mudah digunakan untuk berkomunikasi dengan suku-suku bangsa lain yang paham bahasa Indonesia. Bahasa Betawi merupakan hasil pembauran bahasa-bahasa antar suku dan dipengaruhi unsur bahasa asing (Arab, Belanda, Portugis, Inggris, dan Cina). Bahasa Melayu dialek Nusa Kalapa telah dipergunakan di Jakarta paling tidak sejak abad ke-10. Bahasa Melayu dialek Jakarta atau Bahasa Betawi ini terdapat kosakata yang tergolong "Betawi Kawi", yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu Polinesia dan bahasa Kawi-Jawi. Bahasa Betawi yang dipergunakan sejak abad ke-10, mendapat pengaruh dari bahasa Portugis mulai abad ke-16. Pada awalnya Bahasa Melayu digunakan oleh orang-orang atau penduduk asli Jakarta dan menjadi dasar bahasa Indonesia. Mudah sekali berbaur dengan bahasa Indonesia karena banyak persamaan antara keduanya, sehingga sering pula disebut bahasa Indonesia dialek Jakarta. Perbedaan utamanya hanya pada ucapan sejumlah kata-kata yang pada kedua bahasa itu belum ada padanannya. Umumnya penduduk Betawi asli mengucapkan bunyi a menjadi e, misalnya Abah =Abe, Ada =Ade, Saja =Saje, dan lainnya, yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, bahasa Cina, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda. Penduduk asli kota Jakarta yang pernah mempunyai nama Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia berbahasa Melayu. Di Pelabuhan Sunda Kelapa terjadi pertemuan para pedagang dari dalam (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Timur dan Malaka) dan luar Nusantara (orang Arab dan Cina datang lebih dulu daripada orang Portugis dan Belanda) dengan penduduk setempat. Pertemuan antarbangsa ini mengakibatkan kontak bahasa. Dalam berkomunikasi dagang digunakan Bahasa Melayu sebagai lingua franca. Bahasa Betawi ini merupakan salah satu dialek areal dari bahasa melayu, yang berkembang sejak awal-awal abad masehi di kawasan antara sungai Cisadane disebelah barat sampai sungai Citarum di sebelah timur; dari pantai Teluk Jakarta disebelah utara sampai dekat kaki gunung salak disebelah selatan. Kosakatanya sebagian besar sama dengan kosakata bahasa melayu umum; lalu diperkaya dengan kosakata dari bahasa Arab, cina, Belanda dan beberapa bahasa daerah lain, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali. Selain ada kosakata khas milik bahasa Betawi. Kosakata bahasa asing yang diserap ke dalam Bahasa Melayu berasal dari Bahasa Arab, Cina, Portugis, Belanda, Inggris dan Sanskerta. Penyerapan dari bahasa-bahasa itu turut memberikan ciri kepada Bahasa Melayu yang dituturkan oleh penduduk Jakarta asli sehingga menjadi Bahasa Melayu dialek Betawi . Dialek Betawi memiliki ciri khas fonetis yang membedakannya dengan Bahasa Melayu dialek lainnya. Bahasa Cina, terutama Bahasa Hokkian, merupakan bahasa asing yang turut memperkaya khazanah kosakata Bahasa Melayu Betawi. Bahasa Indonesia Nonformal Bahasa Melayu Betawi banyak digunakan dalam percakapan berbahasa Indonesia pada situasi nonformal. Pada masa pra Sumpah Pemuda bahasa Indonesia yang masih disebut bahasa Melayu menjadi alat komunikasi atau bahasa yang sering dipergunakan di dalam pergaulan sehari-hari antara suku-suku bangsa Indonesia atau antara bangsa Indonesia dan bangsa asing sehingga bahasa Melayu adalah menjadi semacam jembatan yang mengakrabkan pergaulan dan memesrakan hubungan antara suku-suku bangsa dari pelbagai daerah Indonesia. Bahasa Melayu dialek Betawi yang untuk mudahnya biasa disebut bahasa Betawi, merupakan ciri kebudayaan yang paling menonjol dari orang Betawi, digunakan mereka secara turun temurun sebagai bahasa sehari-hari. Berdasarkan penggunaan bahasa oleh masyarakat pendukungnya, wilayah yang dapat dianggap sebagai wilayah budaya Betawi itu meliputi seluruh wilayah DKI Jakarta, sebagian besar wilayah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kecamatan Batu Raya di Kabupaten Krawang dan Kabupaten Tangerang. Perkembangan selanjutnya terdapat gaya berbahasa Indonesia dengan campuran bahasa Betawi yang disebut "Prokem betawi". Gaya berbahasa ini tidak hanya diucapkan dalam obrolan santai, melainkan telah masuk dalam media surat menyurat seperti gini atau dong, sih serta kata deh. Bahkan media surat kabar yang terbit di Jakarta pun terpengaruh juga dengan prokem Betawi.

Bahasa Betawi (basé Betawi, basa Betawi; dikenal juga sebagai bahasa Melayu Betawi) adalah bahasa kreol yang dituturkan oleh suku Betawi yang mendiami daerah Jakarta dan sekitarnya.[6][7] Bahasa ini merupakan bahasa Melayu Pasar yang bercampur dengan bahasa asing, seperti; Belanda, Portugis, Arab, Persia, Hokkien, dan juga bahasa pribumi Indonesia seperti Sunda, Jawa, dan Bali; imbas para imigran dan pekerja multietnis yang didatangkan dari berbagai tempat ke Batavia oleh VOC pada abad ke-16 hingga abad ke-18, serta perdagangan dan pertukaran yang terjadi sejak ratusan tahun di bandar besar Sunda Kalapa.[8]

Bahasa ini pun juga turut menjadi dasar atas bahasa gaul (ragam bahasa Indonesia non-baku), yang digunakan oleh orang-orang di Jabodetabek, dan menyebar ke seluruh Indonesia melalui penayangan media yang Jakartasentris. Laras ini memiliki ciri khas, yaitu adanya sebagian kosakata dengan fonem /a/ pada suku akhir tertutup berubah menjadi /ə/ [e pepet], dan akhiran /-in/ untuk mengganti sufiks /-i/, /-kan/ dan /-lah/ pada bahasa Indonesia.[9]

Bahasa Betawi Tengahan adalah sebuah dialek dari Bahasa Betawi yang dituturkan oleh masyarakat Jakarta (terutama masyarakat Betawi) yang cenderung memakai huruf "é" tinggi pada akhir penempatan katanya.[10][11]

Bahasa ini merupakan bahasa mayoritas di DKI Jakarta dan sebagian Kota Tangerang. Umumnya dialek ini berbunyi "è" pada akhir kata. Dialek ini cukup berbeda dengan dialek Betawi Ora dikarenakan bahasanya yang tidak begitu beragam karena penggunaan kosakatanya lebih dekat dengan bahasa Indonesia yang akhiran katanya kerap diganti dengan vokal 'è' dengan beberapa serapan kosakata dari bahasa lain atau bahasa asing lainnya.

Dialek ini dituturkan di pusat kota Jakarta dan sekitarnya, seperti; Tanah Abang, Kebon Jeruk, Palmerah, Kemayoran, Penjaringan, Kramat Jati, Menteng, Jatinegara, Senen, dan daerah lainnya. Dialek ini memiliki ciri khas; umumnya akhiran yang berfonem /a/ pada bahasa Melayu atau bahasa Indonesia] akan berubah menjadi /ɛ/ [è = taling], seperti pada; ada menjadi adè, apa menjadi apè, siapa menjadi siapè, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak semuanya berubah menjadi demikian, seperti pada contoh kata; buka, bidara, dan doa.

Betawi Pinggiran atau Betawi Ora merupakan salah satu ragam dialek dari bahasa Betawi. Dialek ini cukup berbeda dengan dialek Betawi Tengahan. Perbedaan dari segi khazanah kekayaan kosakatanya, Betawi Pinggiran lebih kentara dan dekat dalam penyerapan kosakata asingnya (umumnya dari bahasa Sunda, Bahasa Jawa dan bahasa-bahasa lainnya) yang menyebabkan kosakatanya lebih beragam dibanding dialek Betawi Tengahan.[8][10]

Dalam pelafalan kata juga dialek ini berakhiran "a" berbeda dengan Betawi Tengahan yang berakhiran "è".[9][12] Dialek ini dituturkan oleh orang Betawi yang bermukim di Kota Depok, Kota Bekasi, bagian utara Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, timur laut Kabupaten Tangerang, utara Kabupaten Bogor, utara Kabupaten Karawang tepatnya di kecamatan Batujaya dan Pakisjaya, dan juga dituturkan di bagian utara Kota Bogor yakni di wilayah utara kecamatan Tanah Sareal.[13][14]

Bahasa Betawi Tangerang atau Basa Betawi Tangerang adalah sebuah sub-dialek dari bahasa Betawi. Dialek ini termasuk kedalam cabang sub-dialek bahasa Betawi Pinggiran.[15] Kosakata dari bahasa Betawi Tangerang banyak dipengaruhi oleh bahasa Sunda Banten karena letak penuturannya yang bersebelahan.[16] Bahasa Betawi Tangerang umumnya dituturkan oleh orang beretnis Betawi dan Tionghoa Benteng yang sudah tidak lagi menggunakan bahasa Hokkien.[17]

Bahasa Betawi Tangerang dituturkan di daerah berikut;[19]

Bahasa Betawi Parung atau Basa Betawi Parung adalah sebuah subdialek dari Bahasa Betawi. Subdialek ini termasuk kedalam cabang dialek Betawi Pinggiran. Subdialek Betawi Parung memiliki banyak kemiripan kosakata dengan subdialek Betawi Depok karena letaknya yang bersebelahan. Subdialek ini juga sangat terpengaruh oleh bahasa Sunda Bogor dalam kosakata dan cara penuturannya.[20] Bahkan Bahasa Betawi Parung tercacat dalam karya tertulis, "Bukan Jakarta. Tapi Parung, Madam. Orang Parung tidak persis Betawi, tapi seperti campuran antara Betawi dan Sunda, karena memang Parung terletak di tengah-tengah." (Fira Basuki (2004) dalam novel Rojak halaman 44).[21]

Bahasa Betawi Parung dituturkan di wilayah Kabupaten Bogor bagian utara, umumnya di wilayah Parung dan sekitarnya. Di Kecamatan Parung, bahasa Betawi Parung dituturkan oleh mayoritas penduduknya kecuali di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Ciseeng sebagian kecil masyarakat berbahasa Sunda. Di Kecamatan Ciseeng, bahasa Betawi Parung umumnya hanya dituturkan di wilayah Desa Ciseeng dan Desa Parigi Mekar sedangkan di desa lainnya mayoritas penduduk menuturkan bahasa Sunda. Di Kecamatan Gunungsindur, bahasa Betawi Parung dituturkan dihampir seluruh desa, kecuali di Desa Gunungsindur dan Desa Jampang yang mayoritas penduduknya berbahasa Sunda.[22] Sedangkan di Kecamatan Kemang, Bahasa Betawi Parung umumnya hanya dituturkan dibeberapa desa yang berbatasan dengan Kecamatan Parung sementara desa lainnya mayoritas menuturkan bahasa Sunda.[23]

Betawi Ora umumnya dituturkan di daerah sekitaran Jakarta, seperti Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi (bagian utara dan barat), Kabupaten Bogor (bagian utara; khususnya Parung dan sekitarnya), Kota Bogor (bagian utara), Kabupaten Tangerang (bagian utara dan timur), Kota Tangerang, dan Kota Depok.[9] Tidak seperti Betawi Tengahan yang mengganti akhiran fonem /a/ menjadi /ɛ/ [è], dalam Betawi Ora' tetap menjadi /a/ (kadang dengan pemberhentian glotal), dan sering pula menekan menjadi [ah], seperti pada contoh; saya > sayah, siapa > sapah, mengapa > ngapah dan ada > ada', kata > kata', dan iya > iya'.

Tokoh-tokoh pengguna bahasa Betawi modern:

Acara televisi yang menggunakan bahasa Betawi dalam acaranya ialah;

Buku-buku yang menjadi pastokan "Sastra Betawi" adalah:

Suku Betawi (bahasa Betawi: Orang Betawi) adalah kelompok etnis Austronesia yang merupakan penduduk asli kota Jakarta dan sekitarnya.[4] Kemunculan Betawi pertama kali pada abad ke-17 sebagai suatu komunitas dari berbagai etnis nusantara yang datang dan menetap di Batavia.[5][6]

Suku ini terbentuk melalui proses asimilasi dari berbagai budaya, termasuk Sunda, Jawa, Melayu, Bugis, Ambon, Manado, Makassar, Arab, Tionghoa, India, dan Eropa, sehingga menciptakan identitas budaya yang unik.[7]

Nama "Betawi" berasal dari kata "Batavia" yang lama kelamaan berubah menjadi "Batavi", dari kata "Batawi" lalu kemudian berubah menjadi "Betawi" (disesuaikan dengan lidah masyarakat lokal). Secara historis, suku Betawi merupakan masyarakat multietnik yang membaur dan membentuk sebuah entitas baru. Suku Betawi terlahir karena adanya percampuran genetik atau akulturasi budaya antara masyarakat yang mendiami Batavia. setelah adanya percampuran budaya, adat-istiadat, tradisi, bahasa, dan yang lainnya, akhirnya dibuat sebuah komunitas besar di Batavia. Komunitas ini lama kelamaan melebur menjadi suku dan identitas baru yang dinamakan Betawi.[8] Penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku diawali dengan pendirian sebuah organisasi bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.[9]

Sedangkan menurut penuturan sejarawan Betawi Ridwan Saidi, ada beberapa acuan mengenai asal mula kata Betawi:

Ada kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan benar. Menurut Ridwan Saidi pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krukut, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar di Sulawesi Selatan, melainkan diambil dari jenis rerumputan.[14]

Periode sebelum masehi

Sejarah penduduk asli Jakarta (dahulu bernama Sunda Kalapa) diawali pada masa zaman batu yang menurut sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Arkeolog Uka Tjandarasasmita dalam monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran" (1977) secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara pada abad ke-5. Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikum atau batu baru (3.500–3.000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya di mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Bekasi, dan Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia yang menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.[15]

Sementara Yahya Andi Saputra, seorang alumni Fakultas Sejarah Universitas Indonesia, berpendapat bahwa penduduk asli Jakarta adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya, bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Ia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.

Dahulu, penduduk asli Jakarta berbahasa Sunda Kuno. Jadi, penduduk asli Jakarta telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu dan bersuku Sunda.[16]